Ekonom Kritik Permenaker Eksportir Bisa Potong Gaji Buruh 25 Persen

Ekonom sebut Permenaker Nomor 5/2023 yang memperbolehkan eksportir memotong gaji buruh sampai 25 persen merugikan buruh dan perekonomian.

Jakarta, CNN Indonesia

Pengamat ekonomi menilai kebijakan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah memperbolehkan eksportir sektor padat karya tertentu bisa memotong gaji pekerjanya sampai 25 persen tidak tepat.

Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan jika alasan terbitnya untuk menyiasati dampak penurunan permintaan ekspor, maka seharusnya pemerintah mencari alternatif jalan keluar lain. Cara yang lain yang bisa dilakukan adalah memberikan insentif bagi perusahaan.

“Dibanding memotong gaji buruhnya, ada insentif yang bisa diberikan baik dalam PPh, PPN, tarif impor, tarif ekspor, bisa diringankan bagi perusahaan-perusahaan tersebut,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (17/3).

Faisal menambahkan pemotongan gaji buruh bisa semakin memperparah ekonomi masyarakat menengah ke bawah karena pemotongan ini menggerus daya beli mereka di tengah kenaikan harga-harga (inflasi).

Ia pun mempertanyakan pengawasan terhadap perusahaan yang boleh melakukan pemotongan gaji pekerja. Pasalnya, kelonggaran ini bisa saja dimanfaatkan oleh perusahaan dengan kondisi yang sebenarnya stabil, tapi memilih memangkas gaji pekerjanya.

“Dikhawatirkan diikuti oleh perusahaan lain dan tidak bisa diawasi oleh pemerintah mengenai kelayakan yang boleh dan tidak boleh. Malah memberikan dampak buruk yang lebih besar,” kata Faisal.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan aturan soal pemangkasan gaji buruh di perusahaan berorientasi ekspor tersebut memiliki konsekuensi yang cukup serius bagi ekonomi, serta mengorbankan kesejahteraan buruh.

“Buruh yang seharusnya mendapat perlindungan terhadap pemangkasan upah, malah dikorbankan. Memang kita ini enggak peduli dengan perlindungan pekerja, setelah ada UU Cipta Kerja, buruh terus dilucuti kesejahteraannya,” kata Bhima.

Menurutnya, negara harusnya hadir dengan meningkatkan porsi regulasi dan belanja perlindungan terhadap pekerja rentan, bukan sebaliknya. Pasalnya dalam rantai produksi, khususnya di industri tekstil pakaian jadi dan alas kaki, posisi buruh buruh disebut paling rentan.

Bhima mengatakan buruh ada di strata terbawah, apalagi pada saat pandemi banyak buruh yang tidak digaji penuh, jam kerja tidak pasti, serta menjadi korban PHK. Bahkan banyak kasus ‘pencurian upah’, yaitu kondisi buruh bekerja sesuai jam kerja normal tetapi upahnya dipotong dengan berbagai alasan.

Ia juga menilai Permenaker soal pemangkasan upah itu rancu. Apalagi, syarat perusahaan boleh pangkas gaji jika porsi biaya tenaga kerja itu minimal 15 persen dari biaya total produksi.

“Itu sudah jelas kalau ongkos pekerja tidak mendominasi biaya total produksi, kenapa yang 15 persen itu mau dikorbankan. Ini tidak logis,” ujarnya.

Menurut Bhima, jika aturan pemotongan gaji buruh diberlakukan maka daya beli pekerja yang notabene kelas menengah bawah, akan terpukul. Kondisi itu kemudian akan berdampak konsumsi rumah tangga secara agregat.

“Begitu perusahaan pakaian jadi berorientasi ekspor mau banting stir ke pasar domestik, yang beli juga berisiko menurun,” katanya.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memperbolehkan eksportir memotong gaji pekerjanya sampai 25 persen, dengan jangka waktu maksimal enam bulan dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.

“Dan ini hanya enam bulan. Jangan dipikir ini berlaku forever. Ini berlaku hanya enam bulan saja,” ujar Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI Jamsos) Indah Anggoro Putri dalam konferensi pers, Jumat (17/3).

[Gambas:Video CNN]

(fby/pta)





Sumber: www.cnnindonesia.com